You are here: Home > Article > “WHOLE BRAIN APPROACH” Customer service

“WHOLE BRAIN APPROACH” Customer service

Bagaimana Menjalankan Prosedur sekaligus  Membuat Pelanggan Happy?

imagesPelanggan sekarang tidak mau tahu. Tampak semakin mudah bagi mereka untuk mengancam meninggalkan pemberi jasa saat kebutuhannya tidak dapat dipenuhi. Bukan sekali dua kali kejadian pelanggan yang menjerit “Kalau Anda tidak bisa berikan jasa yang saya inginkan, saya akan ke toko sebelah!”. “Kenapa anda tidak bisa, sedangkan maskapai penerbangan lain bisa?”.


Dengan persaingan yang luar biasa ketat, di dunia perbankan misalnya, setiap ‘frontliner’ ingin menanggapi dan memenuhi kebutuhan pelanggan sebisa-bisanya. Sistem dan prosedurlah yang kemudian dianggap sebagai penghambat. “Bisakah kredit saya cair dalam satu hari. Kan ada jaminannya deposito?”. “Rekening saya terdebet, uang tidak keluar, bisakah anda memberi saya uangnya?”. Bayangkan ‘panas’-nya pelanggan jika kemudian frontliners-nya berujar,”Oh, kami tidak bisa melakukannya. Prosedurnya tidak demikian.”. Bila ditanya, “Mengapa?”, jawaban berikutnya: “..memang peraturannya begitu”.

Inilah dilema “frontliner” di garis depan. Frontliners diharapkan untuk ‘menjual’ lebih banyak, sementara di sisi lain, kalau mereka melanggar prosedur, ancaman pelanggaranlah yang dihadapi. Tentu saja keberadaan prosedur penting. Sebenarnya, pelanggan pun tidak menghendaki para pejuang servis melanggar peraturan, “cutting corners” begitu. Tetapi, tidak adakah kreativitas untuk berupaya untuk membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Terkadang kekakuan pada prosedur yang tidak masuk akal-lah yang menjadikan pelanggan ‘meledak’. “Masakan mengganti tiket pesawat saja makan 2 hari kerja?”.

Sebenarnya integrasi kerja belahan otak kiri dan kanan akan sangat berguna untuk memecahkan masalah secara kreatif. Hanya dengan menggunakan pendekatan yang mengaktifkan kedua belah otak (whole-brain) maka solusi dapat dikeluarkan dengan lancar dan dilema dapat ditangani dengan sukses.

Menggunakan ‘Seluruh Otak’

Tidak Perlu Ber-IQ Tinggi

Setiap orang tahu bahwa pendidikan kita sangat berpihak pada otak kiri, yaitu semata mengasah logika berpikir saja. Intuisi, pengalaman dan perasaan yang menjadi bagian kerja belahan otak kanan seolah dianggap lebih “ringan”. Itulah sebabnya pada dua dekade lalu, dunia pendidikan beranggapan bahwa penajaman belahan otak kanan hanya merupakan bumbu pendidikan.

Dalam bekerja, pemahaman “corporate policy”, analisa bisnis, pemahaman logika  sistem dan prosedur digarap oleh belahan otak kiri. Kemampuan orang untuk membina hubungan emosional, menggunakan intuisi dilakukan oleh belahan otak kanan. Bila tidak mengoptimalkan kerja otak kanannya, maka kita melihat sikap kaku dari profesional yang terlihat sangat cerdas, namun sulit memenuhi keinginan pelanggan. Istilahnya: ‘Tidak “streetsmart”’.

Optimalisasi otak terjadi bila seseorang tidak berhenti pada penggunaan logika dan analisa, namun sekaligus mensintesanya dengan pengalaman yang pernah ia alami serta mengimajinasikan penerapan dari apa yang dianalisa. Sebaliknya, pengalaman di lapangan juga tidak bisa di-’rasa’-kan saja, tanpa dipikirkan, artinya perlu analisis dan  mengembalikannya ke esensi bisnis, peraturan perusahaan dan sistem prosedur yang ada. Dengan demikian kedua belahan otak difungsikan secara aktif.

Sumber : http://andrysianipar.com/2009/09/%E2%80%9Cwhole-brain-approach%E2%80%9D-customer-service/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

2 Responses to ““WHOLE BRAIN APPROACH” Customer service”

  1. This is getting a bit more subjective, but I much prefer the Zune Marketplace. The interface is colorful, has more flair, and some cool features like ‘Mixview’ that let you quickly see related albums, songs, or other users related to what you’re listening to. Clicking on one of those will center on that item, and another set of “neighbors” will come into view, allowing you to navigate around exploring by similar artists, songs, or users. Speaking of users, the Zune “Social” is also great fun, letting you find others with shared tastes and becoming friends with them. You then can listen to a playlist created based on an amalgamation of what all your friends are listening to, which is also enjoyable. Those concerned with privacy will be relieved to know you can prevent the public from seeing your personal listening habits if you so choose.

  2. Depending on yourself to make the decisions can really be upsetting and frustrating. It can take many people a long time to build a strong moral system. Frankly it takes more than just happening to happen.

Leave a Reply